KASUS KEKERASAN TERHADAP ANAK
Pengertian kekerasan terhadap anak menurut para ahli
Menurut sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut agus (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum.
Sedangkan aisyah (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut agus (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum.
Sedangkan aisyah (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
Faktor faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak :
Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :
· Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku yang aneh, autisme, terlalu lugu
· Kemiskinan keluarga (banyak anak).
· Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
· Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku yang aneh, autisme, terlalu lugu
· Kemiskinan keluarga (banyak anak).
· Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
· Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child) atau anak lahir diluar nikah.
· Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
· Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan
· Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak
· Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
· Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
· Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan
· Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak
· Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
Bentuk Kekerasan Terhadap Anak :
1.Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal
2. Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4.Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2)penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anakyang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6)melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2)penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anakyang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6)melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81)
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum(Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
(15) menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum(Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
(15) menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).
Dampak dari Kekerasan pada Anak :
Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk antara lain:
1. Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa melindunginya itu ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan tindak agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami tindak kekerasan.
2. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
3. Mudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya, kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.
Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan :
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.
Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.
Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong, 2000:40)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidunngan tersebut.
Di samping adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain terhadap anak korban kekerasan.
- Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.
- Pasal 18 berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlidungan khusus bagi anak korban kekerasan.
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.
Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.
Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong, 2000:40)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlidunngan tersebut.
Di samping adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain terhadap anak korban kekerasan.
- Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.
- Pasal 18 berbunyi:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlidungan khusus bagi anak korban kekerasan.
Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui:
(1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
(1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
(2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi;
(3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan
(4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui:
(1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui:
(1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
(2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
(2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
(3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak korban kekerasan.Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan.
Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan anak korban kekerasan.Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat kebijakan.
Berbagai bentuk ganti rugi tersebut bukan semata-mata diberikan untuk perlindunagn korban. Oleh karena itu perlu ada perhatian dari pembuat UU tentang pemberian perlindungan korban kejahatan (kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini sangat diperlukan bagi korban kekerasan yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi maupun fisik, sementara korban tidak mampu.
Seperti dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik dalam UU Perlindungan Anak secara jelas dan tegas , sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum yang jelas.
Seperti dikemukakan di atas, meski kedua UU tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan, namun bentuk perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari pelaku kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik dalam UU Perlindungan Anak secara jelas dan tegas , sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak koban kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum yang jelas.
Contoh kasus berita kekerasan pada anak
Tega, Seorang Ibu di Cengkareng Mutilasi Anaknya yang Berumur 1 Tahun
Mutmainah (28), seorang ibu di Cengkareng, Jakarta Barat, memutilasi anaknya sendiri. Korban yang masih berumur satu tahun tewas seketika.
Kejadian tersebut terjadi di rumah pelaku di kawasan Gang Jaya 24, Tegal Alur, Cengkareng, Jakarta Barat, Minggu (2/10/2016) malam. Peristiwa terjadi sekitar pukul 20.00 WIB.
Ketua RT 04 RW 10 Cengkareng Barat, Suyadi mengatakan pada malam tadi dia dilapori oleh seorang warganya bernama Lastri. Warga tersebut merupakan tetangga dari pelaku.
"Warga melaporkan tetangga sebelah, katanya anaknya itu dipotong-potong," kata Suyadi ketika ditemui detikcom, Senin (3/10/2016) pagi.
Begitu mendapatkan laporan dari Lastri, Suyadi dan warga lain langsung merapat ke rumah pelaku. Begitu tiba di lokasi, mereka mendapati potongan tubuh korban ada di atas meja.
"Setelah saya pastikan bahwa sudah meninggal, saya hubungi Pak RW dan Babinsa," ujar Suyadi.
Polisi lantas datang ke lokasi. Pelaku langsung diamankan. Rumah tersebut kini dipasangi garis polisi.
Kasatreskrim Polres Jakbar AKBP Didik Sugiarto mengatakan kasus ini ditangani Polsek Cengkareng. Mutmainah saat ini tengah menjalani pemeriksaan di Mapolsek Cengkareng.
"Masih diperiksa," ujar Didik.
Kejadian tersebut terjadi di rumah pelaku di kawasan Gang Jaya 24, Tegal Alur, Cengkareng, Jakarta Barat, Minggu (2/10/2016) malam. Peristiwa terjadi sekitar pukul 20.00 WIB.
Ketua RT 04 RW 10 Cengkareng Barat, Suyadi mengatakan pada malam tadi dia dilapori oleh seorang warganya bernama Lastri. Warga tersebut merupakan tetangga dari pelaku.
"Warga melaporkan tetangga sebelah, katanya anaknya itu dipotong-potong," kata Suyadi ketika ditemui detikcom, Senin (3/10/2016) pagi.
Begitu mendapatkan laporan dari Lastri, Suyadi dan warga lain langsung merapat ke rumah pelaku. Begitu tiba di lokasi, mereka mendapati potongan tubuh korban ada di atas meja.
"Setelah saya pastikan bahwa sudah meninggal, saya hubungi Pak RW dan Babinsa," ujar Suyadi.
Polisi lantas datang ke lokasi. Pelaku langsung diamankan. Rumah tersebut kini dipasangi garis polisi.
Kasatreskrim Polres Jakbar AKBP Didik Sugiarto mengatakan kasus ini ditangani Polsek Cengkareng. Mutmainah saat ini tengah menjalani pemeriksaan di Mapolsek Cengkareng.
"Masih diperiksa," ujar Didik.
Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan pada Anak :
UNTUK ANAK
1. Mulailah berani mengatakan tidak suka menjadi korban kekerasan
2. Hilangkan pikiran bahwa orang tua berhak menghukum anak karena alasan disiplin
3. Kalaupun melakukan kesalahan, hukuman tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, namun justru akan menimbulkan dendam pada penghukum, sehingga katakan bahwa tanpa hukumanpun anda sudah tahu kesalahan diri.
4. Bicarakanlah kekerasan yang dialami anak dengan orang dewasa lain yang dianggap anak mampu membantu keluar dari permasalahan tersebut.
2. Hilangkan pikiran bahwa orang tua berhak menghukum anak karena alasan disiplin
3. Kalaupun melakukan kesalahan, hukuman tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, namun justru akan menimbulkan dendam pada penghukum, sehingga katakan bahwa tanpa hukumanpun anda sudah tahu kesalahan diri.
4. Bicarakanlah kekerasan yang dialami anak dengan orang dewasa lain yang dianggap anak mampu membantu keluar dari permasalahan tersebut.
UNTUK ORANG TUA
1. Evaluasi diri mengenai pandangan kita tentang anak, apakah sudah tepat dan apakah kita sudah memberikan yang terbaik untuk anak kita.
2. Diskusi dan berbagi, dengan orang lain untuk mengetahui seberapa baik dan tepat perlakuan dan pandangan kita pada anak.
3. Perbanyak pengetahuan, pengetahuan yang tepat dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan sehingga kita mampu meletakkan pandangan kita mengenai anak secara lebih tepat sehingga kita tidak akan terkungkung oleh pandangan yang belum tentu benar.
4. Peka terhadap anak. Kepekaan terhadap anak akan membuat kita bersegara melakukan tindakan apabila kita mendapati anak menjadi korban kekerasan baik oleh anggota keluarga sendiri atau orang lain.
5. Hubungi lembaga yang berkompeten. Sekarang banyak lembaga yang bergerak dibidang hukum, perlindungan anak dan aparat pemerintah atau penegak hukum yang bisa membantu menghadapi kekerasan pada anak.
1. Evaluasi diri mengenai pandangan kita tentang anak, apakah sudah tepat dan apakah kita sudah memberikan yang terbaik untuk anak kita.
2. Diskusi dan berbagi, dengan orang lain untuk mengetahui seberapa baik dan tepat perlakuan dan pandangan kita pada anak.
3. Perbanyak pengetahuan, pengetahuan yang tepat dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan sehingga kita mampu meletakkan pandangan kita mengenai anak secara lebih tepat sehingga kita tidak akan terkungkung oleh pandangan yang belum tentu benar.
4. Peka terhadap anak. Kepekaan terhadap anak akan membuat kita bersegara melakukan tindakan apabila kita mendapati anak menjadi korban kekerasan baik oleh anggota keluarga sendiri atau orang lain.
5. Hubungi lembaga yang berkompeten. Sekarang banyak lembaga yang bergerak dibidang hukum, perlindungan anak dan aparat pemerintah atau penegak hukum yang bisa membantu menghadapi kekerasan pada anak.
Anak adalah anugerah. Sementara itu tak dipungkiri dalam membesarkan anak hari demi harinya, orang tua bisa mengalami stress yang luar biasa. Mulai dari suara tangis tengah malam, rewel, merengek, persoalan makan, toilet training, temper tantrum, pekerjaan rumah yang harus dibereskan serta kekacauan rumah yang tak pernah ada habisnya. Belum lagi masalah external, relationship dan tekanan ekonomi, seringkali membuat hubungan orang tua dan anak berubah menjadi ledakan besar. Kekerasan terhadap anak pun seringkali tak bisa dihindari.
Komnas Perlindungan Anak mencatat 61,4% pelaku kekerasan adalah orang tuanya sendiri. Bahkan tak jarang orang tua tega melakukan penganiayaan terhadap anaknya yang di luar akal sehat manusia. Kondisi yang memprihatinkan ini bisa terjadi di sekitar kita. Kita semua harus bertindak, kita juga turut bertanggung jawab untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak, yang dimulai dari keluarga.
Komnas Perlindungan Anak mencatat 61,4% pelaku kekerasan adalah orang tuanya sendiri. Bahkan tak jarang orang tua tega melakukan penganiayaan terhadap anaknya yang di luar akal sehat manusia. Kondisi yang memprihatinkan ini bisa terjadi di sekitar kita. Kita semua harus bertindak, kita juga turut bertanggung jawab untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang anak, yang dimulai dari keluarga.
Untuk Orang Tua dan Pengasuh:
Anak-anak memerlukan makanan, tempat tinggal, pakaian dan terlebih dari itu semua, mereka membutuhkan kasih sayang. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka istimewa dan dicintai. Jadi, sebelum kehilangan kesabaran Anda, saran ini dapat membantu:
- Luangkan waktu untuk diri sendiri. Ketika dihadapkan dengan persoalan hidup hingga pada titik puncak merasa kewalahan atau nyaris di luar kendali, luangkan waktu untuk tenang sejenak; jangan timpakan persoalan pada anak.
- Berpikirlah sebelum bertindak. Misalnya jika frustasi dengan suara tangis bayi, jangan guncangkan bayi dengan keras, karena akan mengakibatkan cidera atau kematian.
- Minta bantuan orang lain. Menjadi orang tua tidaklah mudah. Telepon teman/saudara, mintalah bantuan orang lain yang memahami tahapan perkembangan anak.
- Perhatikan acara televisi dan games yang anak Anda lihat. Maraknya film kekerasan dan program TV dapat membahayakan mereka.
Untuk Teman dan Tetangga:
Para orang tua di sekitar Anda membutuhkan Anda dalam membesarkan anak-anak yang sehat dan bahagia. Jadi, jika Anda ingin melakukan sesuatu dalam upaya mencegah kekerasan terhadap anak, perhatikan:
- Aktiflah di komunitas Anda dan kenalilah tetangga Anda. Tawarkan uluran tangan untuk mengurus anak-anak akan sangat membantu orang tua lepas dari ketegangan.
- Menjadi relawan pencegahan kekerasan anak
- Ikut serta mempromosikan serta mengembangkan layanan kebutuhan anak dan keluarga di komunitas Anda, baik di lingkungan rumah, gereja atau lainnya.
- Laporkan jika Anda melihat kekerasan pada anak atau pengabaian anak.
- Jika Anda punya memiliki alasan mempercayai bahwa anak telah mengalami kekerasan, laporkanlah kepada polisi atau bisa juga menghubungi hotline service KPAI (021-31901556) atau Komnas PA (021-87791818
Sumber:
http://shelviahandayani.blogspot.co.id/
https://masalahsosialmasyarakat.wordpress.com/2012/05/05/cara-mengatasi-kekerasan-pada-anak/
http://shelviahandayani.blogspot.co.id/
https://masalahsosialmasyarakat.wordpress.com/2012/05/05/cara-mengatasi-kekerasan-pada-anak/
http://news.detik.com/berita/d-3311781/tega-seorang-ibu-di-cengkareng-mutilasi-anaknya-yang-berumur-1-tahun